Laman

Thursday, March 31, 2016

Untukmu Esokku.

Kemarin aku masih menulis tentang kamu, tentang bagaimana kau dengan sabar mendengar aku bercerita hal yang mengganjal pikiranku, tentang bagaimana senyum itu terukir sempurna menentramkan.

Kemarin lusanya, aku juga masih menuliskan tentang kamu, yang selalu saja punya banyak cerita yang membuatku tertawa, tentang bagaimana kata-kata semangat darimu begitu membuatku bersemangat.

Oh ya, bahkan seminggu yang lalu aku masih menuliskan tentangmu, tentang bagaimana kamu membuatku menjadi sedih karenamu, tentang aku yang menjadi sesak karenamu.

Malam ini, pada lembar tulisanku, aku pun masih saja menuliskan tentangmu, tentang bagaimana tulisanku adalah tentangmu, entah bagaimana aku mampu menuliskannya, selalu saja begitu, Aku tak tau, apa besok tulisanku masih tentang kamu atau tidak, apakah masih saja mengukir jejak kamu, mencari apa saja yang mengingatkanmu pada kamu. Aku tak tau.

Untuk kamu yang padanya semua tulisanku, kamu mungkin ada dimana-mana pada kemarinku, tapi pada esokku aku sepenuhnya tak tau, lalu bila kamu adalah esokku, entahlah aku akan siap atau tidak, namun jadilah kamu yang selalu aku rindukan pada setiap kata yang aku tulis untukmu.

Untukmu, sampai bertemu pada esok kita.

Tuesday, March 29, 2016

Ya Rabb, syukur yang bagaimana yang harus dilakukan. Sementara Kau selalu memberi nikmat, hingga aku tak tahu lagi, harus berucap berapa kali.

Pada doa-doa yang belum sampai, mungkin ia masih mengantri. Tapi Kau katakan pasti. Entah hari ini, nanti, esok. Yang kutahu, Kau selalu tahu.

Apakah cerita hidup selalu mulus? Tidak. Kau memberinya batu dan duri di jalanku. Bukan karena Kau membenciku, tapi lain. Kau mengajarkan kakiku lebih kuat. Berjalan lebih jauh meski banyak kesulitan di atas jalannya. Kau ingin aku sesering mungkin menyebut namamu di setiap langkahku, langkah dalam gelapnya malam ketika aku terpaksa pulang sendiri. Dan nyatanya, aku aman bersama-Mu.

Jika cinta manusia itu penuh syarat, cinta-Mu tidak. Bagaimana bisa Kau selalu memenuhi apa yang kubutuhkan, tanpa aku minta? Maka, aku sebut cinta yang bagaimana itu?

Kau mencintaiku lebih daripada aku mencintai diriku sendiri.
Karena ketika aku rapuh dan jatuh, pada-Mu lah aku mampu berdiri (lagi). Karena ketika aku sendiri, bersama-Mu lah kutemukan ketenangan hati. Karena ketika aku tak berani bermimpi, tangan-Mu mengajakku untuk berlari, tanpa perlu banyak tapi. Karena ketika aku tak berani menyesali, lagi-lagiKau menilaiku hari ini.

Ya Rabb, syukur yang bagaimana lagi? Atas kisah yang begitu rumit. Atas kisah yang membuatku tak berhenti belajar. Atas kisah yang seringkali aku sangsikan, hingga banyak andai-andai. Atas segala yang telah terjadi, Kau-lah sebaik-baik perencana.

Maka ketika aku bertanya, “aku bisa apa ketika tinta-Mu telah mengering di kitab itu?” Kau jawab, “doa dan usaha”. Aku mengangguk saja dan percaya. Ketidakmungkinan apapun bisa menjadi mungkin, karena-Mu.

Selalu begitu. Kau dulu, Kau lagi, Kau terus. Ya Rabb, semoga aku bisa menjadi sebaik-baik manusia meski banyak kurang dalam setiap sudutnya.

Monday, March 28, 2016

Apa Kabar?

Kamu, apa kabar?
Bagaimana di tempatmu hari ini? Langitmu biru kan? Di sini tak menentu. Pagi hari cerah, kemudian mendadak kelabu. Entah mengapa semesta selalu tahu hatiku. Cuaca selalu mengajak bercanda seakan mengikuti naik turunnya perasaan ini. Tapi tak mengapa, aku menikmatinya. Semoga kau sehat di sana, cerah secerah matahari.

Kamu, apa kabar?
Masihkah harapan itu ada di sana? Di sini hampir habis. Aku tak tahu apa sebabnya. Mungkin karena aku sering mengeluh. Iya iya, maafkan aku. Tak lagi aku mengeluh. Benar mengeluh hanya makin memperparah keadaan.

Kamu, apa kabar?
Jaga kesehatan ya. Aku tak suka melihatmu sakit. Apalagi saat kita berjauhan seperti ini. Jangan ya. Sebab hatiku gampang hariwang, terlalu cepat waswas jika soal kamu. Jangan sakit, kamu harus jadi kuat. Calon pendampingku tak boleh sakit. Tapi tak mengapa, nanti jika kamu atau aku sakit, kita akan saling menguatkan. Bubur di pagi hari, teh panas, dan kompresan saat demam akan jadi lebih mengobati jika ditambahkan kasih sayang.

Kamu, apa kabar?
Aku hanya ingin bertanya kabarmu hari ini. Tak mengganggumu bukan? Nanti jika aku berisik, tegur aku. Maka sibukmu akan kubaweli dalam doa saja. Itu jauh lebih baik, bukan?

Kamu apa kabar?
Hm. Aku sayang kamu. Dalam sayangku kukirimkan berjuta-juta doa di Langit sana. Doaku akan berperang dengan doa-doa yang lain. Aku akan makin rajin mengirimmu doa. Jika kau tak mendoakanku, tak mengapa. Aku percaya doa baik akan kembali kepada yang mendoakan.

dua puluh delapan

Aku masih bangun seperti biasa. Menatap handphone beberapa lama, lalu melirik diam-diam ke arah jam. Menatap langit-langit kamar yang sama. Letak lemari, meja, dan rak buku juga masih sama. Tak ada yang berbeda di sini. Aku masih bernapas, jantungku masih berdetak, dan denyut nadiku masih bekerja dengan normal. Memang, semua terlihat mengalir dan bergerak seperti biasa, tapi apakah yang terlihat oleh mata benar-benar sama dengan yang dirasakan oleh hati?

Sudah tanggal 28.  Selamat tanggal dua puluh delapan! Entah sejak kapan aku mulai suka pada angka dua puluh delapan. Aku mencintai angka dua puluh delapan dan dan tak tahu alasan pastinya. Sama seperti aku yang mencintai kamu, tanpa bisa menjelaskan sejak kapan, kenapa dan bagaimana. Tanpa alasan.
Aku semakin mencintai angka dua puluh delapan sejak pertemuan kita yang tak disengaja saat itu. Tepat tanggal dua puluh delapan, bulan ke delapan dua tahun lalu. Kita berdua seperti 2 (dua) kepala yang disatukan menjadi angka 8 (delapan), bergandengan, erat, berdekatan. Jika ikatan itu dilepas atau dipisah hanya terbentuk dua angka 0 (nol) kosong. Sudah seringkali kita mencoba untuk saling melepaskan diri, namun nyatanya semesta mampu mempertemukan kita lagi.

Seberapa pentingkah tanggal dua puluh delapan? Ya... memang tidak penting bagi siapapun yang tak mengalami hal berbeda di tanggal dua puluh delapan. Kita masuk ke bulan Maret. Bulan yang baru. Harapan baru. Mimpi yang baru. Cita-cita baru. Juga kadang, tak ada yang baru. Aku hanya ingin kamu tahu, tak semua yang baru menjamin kebahagiaan. Dan, tak semua yang disebut masa lalu akan menghasilkan air mata. Aku begitu yakin pada hal itu, sampai pada akhirnya aku tahu rasanya pertengkaran. Aku tahu rasanya melepaskan diri dari segala hal yang sebenarnya tak pernah ingin kutinggalkan.

Kamu diam begitu saja tanpa kabar apapun, tanpa janji akan segera kembali. Kita diam seperti ini, tanpa alasan yang jelas, tanpa diskusi dan interupsi. Iya, diam, begitu saja. sampai aku tak benar-benar mengerti, apakah kita memang akan terus seperti ini? Atau dulu, sebenarnya kita tak punya keterikatan apa-apa. Hanya saja aku dan kamu senang mendengungkan rasa yang sama.

Ah sudahlah. Jujur saja. Aku rindu tentangmu. Aku rindu kala terakhir aku ada dalam pelukmu, meskipun itu baru  minggu yang lalu. Aku rindu kita dapat dengan lepas menertawai masa lalu, walaupun itu begitu menyakitkan dulunya. Dan lama-kelamaan, aku punya kemampuan untuk merindukan kata “aku sayang kamu”, bahkan dalam jeda waktu satu detik setelah kamu mengatakannya.  

Di sisi lainnya, aku begitu takut. Aku takut kehilanganmu. Aku takut kamu tiba-tiba menghilang dan tak kembali padaku. Aku takut ada hal lain yang memaksa kita untuk berpisah. Aku takut kamu berubah. Aku takut semua kenangan yang telah kita bangun selama ini hanyalah mimpi sementara yang pada akhirnya harus ditutup dan hanya jadi pajangan rak buku, dibiarkan berdebu tak tersentuh. Tidak ada kepastian untuk semua hal yang aku ucapkan barusan. Kita hanya manusia. Lidah kita tak bertulang, berarti ia dapat berucap, ia juga dapat merubah ucapannya. Jari dapat mengetik dan menulis, namun ia juga dapat menghapusnya. Hati dapat memilih pasangannya, tapi ia juga yang punya kendali untuk memilih pergi.

Oleh karena itu, tetaplah seperti ini. Tetaplah jadi yang terbaik bagiku. Tetaplah jadi kita yang selalu peduli akan satu sama lain. Tetaplah menginginkanku, seperti pertama kali kamu menginginkanku. Aku tidak akan menyerah, dan aku harap kamu tidak keberatan untuk melakukan hal yang sama.

Terakhir. Sama seperti kata yang sering kamu ucap bahwa aku bukan siapa-siapa. Hanya bisa berharap.

Selamat tanggal dua puluh delapan.

Tuesday, March 15, 2016

Dulu. Saat ini. Nanti

Malam ini, banyak hal yang berputar dikepala. Tentang kejadian beberapa tahun silam, tentang beberapa keputusan yang pernah disesali, tentang banyak hal yang terlalui.

Ternyata Allah sebegitu baiknya, mengatur segala hal dengan rincinya. Dan aku? Hanya salah satu hamba yang selalu penuh dengan pintaan. Sampai pada tahap ini, strata satu yang akhirnya beberapa bulan lagi terselesaikan dalam kurun waktu empat tahun, adalah hal paling melegakan sejauh ini.

Walaupun pada tahun awal sempat merasa setengah hati. tapi pada akhirnya semua terbayar. Bertemu dengan orang-orang luar biasa yang mau mengorbankan waktu dan kesabarannya untuk berteman denganku. Bersama dengan orang-orang hebat yang selalu memberikan dukungan kapanpun. Dan dilingkari orang-orang yang penuh kasih sayang, yang selalu ada ketika dibutuhkan. Ternyata ini alasannya, mengapa aku tidak di ijinkan meninggalkan kota ini yang selalu menjadi rumahku, yang akan memenuhi mimpiku. Dan yang mempertemukan aku dan dia.

Hal lain yang aku syukuri sampai sejauh ini adalah, bahwa hatiku ternyata tidak sebegitu mati rasa. sekarang aku bisa tersenyum ketika teringat. Senyuman yang aku dapatkan ketika berbincang dengan dia. Dia, yang sekarang ada disetiap hariku. Karena dia, yang telah mampu mengisi hati dan telah berani mengacak keputusanku untuk menunda menerima siapapun sampai waktu yang belum aku tentukan. Dia, yang……ah, aku selalu sulit menjelaskannya. Tetapi aku tau, dia adalah yang aku ingini.

Banyak hal berubah. Dulu. Saat ini. Nanti. Satu yang aku harap masih tetap bertahan. Kami. Aku dan dia. Dan segala mimpi yang telah melingkupi. Aku hanya sederhana, untuk selalu ada, kapanpun dia ber-asa, ada aku yang bantu mewujudkannya.

Bandung, 15 Maret 2016 23:28