Laman

Sunday, August 2, 2015

Afwan. Aku telah cemburu.



Kita adalah dua orang rumit. Kita memilih menjalani hubungan yang sulit. Namun itu tidak masalah bagi kamu. Sedangkan aku juga merasa begitu. Kita tidak memiliki status yang jelas. Kita hanya ditautkan rasa nyaman. Aku senang saat kau mampu membuat aku tertawa. Katamu, kau suka setiap kali aku tersenyum. Ah, kamu memang suka menggoda. Dan aku selalu rindu caramu saat kita beberapa hari tidak bertemu.
Pernah suatu kali, aku bertanya kepadamu perihal apa tujuan kamu. Kamu menjawab dengan serius tapi santai. Bahkan seolah tidak ada masalah sama sekali. Sempat ragu, tapi kita jalani saja. Aku berusaha menerima teorimu. Aku pikir, kalau kita bahagia kenapa harus memikirkan hal yang lain. Tapi ya sudahlah, kalau memang kita saling nyaman ya gimana lagi. Yang menjalani kan, kita. 
Namun aku adalah manusia ciptaan-Nya yang pasti memiliki hati juga. Perasaan itu terus tumbuh. Aku semakin terjebak. Dimana dalam hati itu dapat tersirat rasa suka, sayang, cinta, cemburu, dan rindu. Hati adalah kelemahanku, apalagi aku adalah seorang perempuan yang begitu sensitive perasaannya walaupun dari kasat mata aku terlihat kuat. Hati adalah anugrah dari Allah yang begitu halus, mudah terbolak-balik, dan sangat mudah tersentuh maupun tersakiti.
Tapi, aku selalu mencoba menggunakan logika agar tidak terlalu terjerat dengan berbagai macam penyakit hati. Yang aku maksud dengan penyakit hati adalah sesuatu yang dapat membuatku lemah seperti merasa kagum terhadap lawan jenis, merasa rindu, dan bahkan cemburu.
Dalam hati selalu bertanya, bolehkah aku cemburu walau kamu bukan milik aku? Tapi rasa cemburu itu ada. Terkadang ada saat dimana aku harus mengahadapi semua dengan sendiri, meski hati menangis tak ada pilihan lain selain berusaha tegar dan keadaan memaksaku harus kuat meski sebenarnya aku tak mampu. Benar katamu, jika boleh memilih lebih baik memilih untuk tidak mengenal dari pada harus melupakan, karena itu sangat sulit.

Saturday, August 1, 2015

Terimakasih, Tuan Tak Bernama.



Perkenalan kita begitu singkat, begitu manis. Awalnya, aku tak mengira ini akan menjadi sebuah cerita yang panjang. Awalnya, aku tak mengira ini akan menjadi sebuah kisah yang manis, yang mampu menjadi magis dalam pikiranku. Perkenalan kita biasa saja, sungguh. Bahkan aku tak menyangka.

Sungguh, aku tak bisa menolak datangnya perasaan. Entah perasaan apa, aku mulai merasa nyaman denganmu. Merasa bahagia, tenang, atau apapun itu. Kamu sungguh berbeda dengan mereka semua yang pernah datang dan pergi di hidupku.

Hai Tuan tak bernama, selamat datang di dunia saya yang sempat tak berwarna lagi. Terimakasih telah memberi bias cahaya yang sangat indah dalam hidup saya. Terimakasih karena telah menjadikan saya menjadi diri sendiri. Terimakasih telah berbeda dari siapapun. Terimakasih untuk apapun.

Maaf jika aku terlalu banyak egois dan mementingkan keinginanku sendiri. Mungkin aku yang masih terlalu kekanak-kanakan sementara kamu begitu dewasa dengan pikiranmu. Padahal kita belum menjadi siapa-siapa bukan? Ah tapi, aku benar-benar tak ingin mengakhiri kisah yang sudah terlanjur manis ini. Maaf aku sudah menjadikanmu orang yang berpengaruh dalam hidupku.