Laman

Sunday, September 27, 2015

Senja, Kamu, dan Kita

Waktu senja mulai datang menyapa. Perlahan membunuh angkuhnya terik sang surya. Aku masih ingat, ketika wajahmu ku tatap lekat-lekat. Berharap waktu agar berjalan lebih lambat. Sebab, entah kenapa, setiap aku sedang bersamamu, waktu terasa begitu cepat berlalu. Hal itu juga yang kadang membuatku ingin menyumpahi sang waktu.

Hari ini, aku ingin mengundangmu. Jangan takut. Aku tidak akan pernah mengajakmu untuk mengulang. Aku hanya ingin mengenang kembali, masa-masa indah kita ketika menikmati senja.

Kita pernah menikmati senja berdua. Menghabiskan waktu melihat langit yang berwarna jingga. Atau, hanya sekedar bercerita, bercanda, lalu tertawa bersama. Terkadang, lelucon yang aku buat, mampu membuatmu tertawa lepas. Kau tahu? Hal yang paling aku sukai adalah; ketika aku mampu membuatmu tertawa dengan hal-hal yang sederhana.

Pernah juga, seandainya kita bosan menikmati senja dengan hanya duduk berdua, kita memutuskan untuk jalan-jalan tanpa tujuan. Mengitari setiap sudut jalan, sambil sesekali tertawa bersama. Menikmati senja di tengah riuhnya kota ketika senja tiba, melihat kendaraan lalu lalang, melihat orang-orang kantoran yang bergegas ingin pulang. Tak jarang aku bercerita tentang hal-hal yang mungkin tidak penting. Tapi kamu selalu mendengarkan semua kata yang aku keluarkan. Sungguh, waktu itu aku merasa sangat bahagia.

Hari ini, aku kembali menikmati senja. Tak ada yang berubah dari senja. Langit tetap berwarna jingga merona. Semesta tetap memperlihatkan betapa indahnya ciptaanNya. Hanya saja, sekarang tidak ada lagi kita. Aku menikmati senja sendiri, tanpa ada lagi kamu disini. Tak bisa aku pungkiri memang seperti ada yang kurang. Oleh karena itu aku sengaja mengundangmu. Hanya sesaat saja.

Setelah ini, aku akan menganggapmu tak ubah layaknya seperti senja. Yang datang sesaat ketika semua orang sedang penat. Yang hadir sekejap, lalu hilang di telan gelap. Aku akan tetap menikmati senja, walau tak lagi bersama kita.



Sunday, August 2, 2015

Afwan. Aku telah cemburu.



Kita adalah dua orang rumit. Kita memilih menjalani hubungan yang sulit. Namun itu tidak masalah bagi kamu. Sedangkan aku juga merasa begitu. Kita tidak memiliki status yang jelas. Kita hanya ditautkan rasa nyaman. Aku senang saat kau mampu membuat aku tertawa. Katamu, kau suka setiap kali aku tersenyum. Ah, kamu memang suka menggoda. Dan aku selalu rindu caramu saat kita beberapa hari tidak bertemu.
Pernah suatu kali, aku bertanya kepadamu perihal apa tujuan kamu. Kamu menjawab dengan serius tapi santai. Bahkan seolah tidak ada masalah sama sekali. Sempat ragu, tapi kita jalani saja. Aku berusaha menerima teorimu. Aku pikir, kalau kita bahagia kenapa harus memikirkan hal yang lain. Tapi ya sudahlah, kalau memang kita saling nyaman ya gimana lagi. Yang menjalani kan, kita. 
Namun aku adalah manusia ciptaan-Nya yang pasti memiliki hati juga. Perasaan itu terus tumbuh. Aku semakin terjebak. Dimana dalam hati itu dapat tersirat rasa suka, sayang, cinta, cemburu, dan rindu. Hati adalah kelemahanku, apalagi aku adalah seorang perempuan yang begitu sensitive perasaannya walaupun dari kasat mata aku terlihat kuat. Hati adalah anugrah dari Allah yang begitu halus, mudah terbolak-balik, dan sangat mudah tersentuh maupun tersakiti.
Tapi, aku selalu mencoba menggunakan logika agar tidak terlalu terjerat dengan berbagai macam penyakit hati. Yang aku maksud dengan penyakit hati adalah sesuatu yang dapat membuatku lemah seperti merasa kagum terhadap lawan jenis, merasa rindu, dan bahkan cemburu.
Dalam hati selalu bertanya, bolehkah aku cemburu walau kamu bukan milik aku? Tapi rasa cemburu itu ada. Terkadang ada saat dimana aku harus mengahadapi semua dengan sendiri, meski hati menangis tak ada pilihan lain selain berusaha tegar dan keadaan memaksaku harus kuat meski sebenarnya aku tak mampu. Benar katamu, jika boleh memilih lebih baik memilih untuk tidak mengenal dari pada harus melupakan, karena itu sangat sulit.

Saturday, August 1, 2015

Terimakasih, Tuan Tak Bernama.



Perkenalan kita begitu singkat, begitu manis. Awalnya, aku tak mengira ini akan menjadi sebuah cerita yang panjang. Awalnya, aku tak mengira ini akan menjadi sebuah kisah yang manis, yang mampu menjadi magis dalam pikiranku. Perkenalan kita biasa saja, sungguh. Bahkan aku tak menyangka.

Sungguh, aku tak bisa menolak datangnya perasaan. Entah perasaan apa, aku mulai merasa nyaman denganmu. Merasa bahagia, tenang, atau apapun itu. Kamu sungguh berbeda dengan mereka semua yang pernah datang dan pergi di hidupku.

Hai Tuan tak bernama, selamat datang di dunia saya yang sempat tak berwarna lagi. Terimakasih telah memberi bias cahaya yang sangat indah dalam hidup saya. Terimakasih karena telah menjadikan saya menjadi diri sendiri. Terimakasih telah berbeda dari siapapun. Terimakasih untuk apapun.

Maaf jika aku terlalu banyak egois dan mementingkan keinginanku sendiri. Mungkin aku yang masih terlalu kekanak-kanakan sementara kamu begitu dewasa dengan pikiranmu. Padahal kita belum menjadi siapa-siapa bukan? Ah tapi, aku benar-benar tak ingin mengakhiri kisah yang sudah terlanjur manis ini. Maaf aku sudah menjadikanmu orang yang berpengaruh dalam hidupku.

Tuesday, July 28, 2015

Tentangmu, lagi.


Malam sudah larut namun aku sama sekali tidak berkeinginan untuk beranjak dari tempat ini dan kemudian memutuskan untuk tidur. Memang sudah beberapa kali aku menguap, mataku juga merah-perih-berair, serta tubuhku rasanya kelelahan sekali akibat duduk disini berjam-jam. Semua itu menunjukkan bahwa aku sebenarnya ngantuk, bahkan benar-benar ngantuk. 

Aku sangat merindukan kasur dengan bantal dan guling biru yang sekitar 19 jam lalu aku tinggalkan. Aku butuh tidur, lalu bermimpi tentang seseorang yang sekarang sedang mengusik hari-hariku dengan bayangannya. Well, itu aku menjadi mimpi yang sangat indah.

Tetapi tetap, aku masih belum mau untuk segera mewujudkan keinginan tidur itu dulu, walau pada kenyataannya, sekarang, disini, aku menahan kantukku, memaksakan kedua bola mataku untuk tetap terbuka lebar, memusatkan seluruh saraf tubuhku pada layar monitor di hadapanku, memaksakan jari-jari tanganku untuk tetap mengetikkan kata demi kata, apapun itu, yang penting sebuah tulisan terbentuk malam ini. Aku sedang ingin menulis. Walau tahu, aku tak punya ide mau menulis tentang apa.

Sempat terpikir untuk menulis tentangmu. Lagi. Iya tentangmu lagi, untuk kesekian kalinya. 
Kamu, yang selalu aku rindukan sebatas tulisan-tulisanku.

Tapi Ah Sudahlah. baiklah, saatnya aku untuk tidur sekarang. dan tentu saja, bermimpi indah,

Monday, July 27, 2015

Bukan diam

Jika suatu hari kamu membaca ini. Ketahuilah, ada seorang wanita yang menantimu sesabar ini.
Merindumu sesyahdu ini.
Meyakini kedatanganmu, melebihi yakinnya pada gelap malam yang akan pudar oleh mentari...



Bukan...dia bukan diam...
Kamu hanya tak tau, bibirnya selalu merapal doa dengan namamu di dalamnya...
 

Bukan...dia, bukan sedang diam...
Kamu yang tak tau, tatap matanya selalu waspada memperhatikan lalu lalang di hadapnya, berharap temukan bayangmu di antara mereka...

Sungguh, dia bukan diam...
Kamu yang tak kunjung pahami, bahwa ada wanita yang tak juga beranjak dari duduknya hanya karena dia takut sekali kamu akan datang selagi dia pergi mencari...

Iya, dia masih saja setia duduk dalam diamnya...
Menantimu datang meski entah kapan waktunya...


- Al-Fatihah -


Saturday, July 25, 2015

Sepenggal lamunanku



Aku menatap sesuatu yang tak kau lihat. Aku mendengar sesuatu yang tak kau dengar. Aku merasakan sesuatu yang tak kau rasakan.

Masih tentang hal yang sama. Aku belum ingin ganti topik. Tentang dia. Seseorang yang selalu ku perbincangkan sangat lama bersama-Mu. Seseorang yang selalu kusebut dalam setiap frasa kata ketika aku bercakap panjang dengan-Mu. Tentang dia.

Aku tidak peduli pada kedekatan kita yang semakin hari semakin tidak jelas ini. Kedekatan yang kian hari kian tak kupahami. 

Semua kulakukan diam-diam. Begitu tertata rapih. Semua kusembunyikan. Hingga perasaanmu yang terkadang tak peka tetap saja tak peduli pada degupan hati yang jarang tertangkap oleh hatimu. Aku pandai menyembunyikan banyak hal hingga kau tak memahami yang sebenanarnya terjadi.

Tapi aku selalu ingat perkataanmu, "Kenapa tidak mungkin?". Aku tersenyum ketika barisan kalimat itu kau kirimkan untukku. 

Namun aku takut. Takut. Semakin takut jika perasaan ini bertumbuh ke arah yang tidak kuinginkan. Tolong hentikan langkahku, jika memang segalanya yang kuduga benar adalah hal yang salah. Tolong kembalikan aku kejalanku yang dulu, sebelum aku mengganggu rute tujuanmu.

Ketahuilah, Sholeh. Tak ada yang tahu, kapan pertemuan menjadi penyebab penyatuan dan bahkan kapan perpisahan menjadi penyebab kegelisahan. Aku menjalani, kamu meyakini, namun pada akhirnya waktu juga yang akan menentukan akhir cerita ini. Kamu tak punya hak untuk menebak, begitu juga aku.

Friday, July 17, 2015

Sedang dalam merindukanmu

Hai Kamu? Iya kamu. Baiknya aku harus memanggilmu dengan sebutan apa? 
Pangeran? dan aku Bidadarimu?
atau Kstaria dan aku Peri kecilmu? 
Ah memikirkan sebuah sebutan saja sulit untukku. Yaudah deh, Tuan tak bernama saja biar misterius :D


Hail Tuan. Pertemuan kita bukan suatu kebetulan. Tahun lalu dimana kau dan aku dipertemukan. Aku berjalan mengarungi hari bersamamu. Aku menghadapi datangmu kepadaku. Kamu mengungkapkan kekagumanmu, akupun juga mengungkapkan kekagumanku. Aku mulai terbiasa bergelut dengan rasa sayang yang mampir di relung-relung hatiku. Kamu seperti nyata untukku. Aku telah menggapaimu. 

Untuk beberapa bulan kebelakang itu kau sudah tunjukkan dunia yang membahagiakan untukku. Aku senang mengenalmu. Aku senang kamu masuk dalam kehidupanku. Aku senang ketika bersamamu aku menjadi diriku sendiri dan kamu menerimanya. Dan yang terpenting, aku bahagia saat kau memperhatikan keluargaku.

Dan saat ini aku sedang dalam keadaan merindukanmu. Aku selalu mempertanyakan apa yang Allah mau, sehingga aku dipertemukan denganmu. Aku melihat sosok dirimu yang tangguh, seiman, menyenangkan, dan selalu mengajarkanku menjadi lebih baik. Seperti sosokmulah yang selama ini kucari. 

Sekarang, Entah bagaimana yang akan kita jalani kedepannya. Kita hanya bisa berharap dan terus berharap mendapat Ridhonya.

Untuk kamu, Tuan tak bernama. 

Terima kasih untuk hari yang penuh warna-warni, penuh hujan dan pelangi, penuh tanya dan misteri. terimakasih untuk percakapan manis dalam setiap pesan singkat kita, dalam setiap sambungan telepon dalam setiap tawa meskipun hanya sekejap. Terimakasih kamu masih di sini, membiarkanku membangun mimpi-mimpi baru walaupun jalan kita memang berbeda, punya jalan masing-masing.