Laman

Monday, March 28, 2016

dua puluh delapan

Aku masih bangun seperti biasa. Menatap handphone beberapa lama, lalu melirik diam-diam ke arah jam. Menatap langit-langit kamar yang sama. Letak lemari, meja, dan rak buku juga masih sama. Tak ada yang berbeda di sini. Aku masih bernapas, jantungku masih berdetak, dan denyut nadiku masih bekerja dengan normal. Memang, semua terlihat mengalir dan bergerak seperti biasa, tapi apakah yang terlihat oleh mata benar-benar sama dengan yang dirasakan oleh hati?

Sudah tanggal 28.  Selamat tanggal dua puluh delapan! Entah sejak kapan aku mulai suka pada angka dua puluh delapan. Aku mencintai angka dua puluh delapan dan dan tak tahu alasan pastinya. Sama seperti aku yang mencintai kamu, tanpa bisa menjelaskan sejak kapan, kenapa dan bagaimana. Tanpa alasan.
Aku semakin mencintai angka dua puluh delapan sejak pertemuan kita yang tak disengaja saat itu. Tepat tanggal dua puluh delapan, bulan ke delapan dua tahun lalu. Kita berdua seperti 2 (dua) kepala yang disatukan menjadi angka 8 (delapan), bergandengan, erat, berdekatan. Jika ikatan itu dilepas atau dipisah hanya terbentuk dua angka 0 (nol) kosong. Sudah seringkali kita mencoba untuk saling melepaskan diri, namun nyatanya semesta mampu mempertemukan kita lagi.

Seberapa pentingkah tanggal dua puluh delapan? Ya... memang tidak penting bagi siapapun yang tak mengalami hal berbeda di tanggal dua puluh delapan. Kita masuk ke bulan Maret. Bulan yang baru. Harapan baru. Mimpi yang baru. Cita-cita baru. Juga kadang, tak ada yang baru. Aku hanya ingin kamu tahu, tak semua yang baru menjamin kebahagiaan. Dan, tak semua yang disebut masa lalu akan menghasilkan air mata. Aku begitu yakin pada hal itu, sampai pada akhirnya aku tahu rasanya pertengkaran. Aku tahu rasanya melepaskan diri dari segala hal yang sebenarnya tak pernah ingin kutinggalkan.

Kamu diam begitu saja tanpa kabar apapun, tanpa janji akan segera kembali. Kita diam seperti ini, tanpa alasan yang jelas, tanpa diskusi dan interupsi. Iya, diam, begitu saja. sampai aku tak benar-benar mengerti, apakah kita memang akan terus seperti ini? Atau dulu, sebenarnya kita tak punya keterikatan apa-apa. Hanya saja aku dan kamu senang mendengungkan rasa yang sama.

Ah sudahlah. Jujur saja. Aku rindu tentangmu. Aku rindu kala terakhir aku ada dalam pelukmu, meskipun itu baru  minggu yang lalu. Aku rindu kita dapat dengan lepas menertawai masa lalu, walaupun itu begitu menyakitkan dulunya. Dan lama-kelamaan, aku punya kemampuan untuk merindukan kata “aku sayang kamu”, bahkan dalam jeda waktu satu detik setelah kamu mengatakannya.  

Di sisi lainnya, aku begitu takut. Aku takut kehilanganmu. Aku takut kamu tiba-tiba menghilang dan tak kembali padaku. Aku takut ada hal lain yang memaksa kita untuk berpisah. Aku takut kamu berubah. Aku takut semua kenangan yang telah kita bangun selama ini hanyalah mimpi sementara yang pada akhirnya harus ditutup dan hanya jadi pajangan rak buku, dibiarkan berdebu tak tersentuh. Tidak ada kepastian untuk semua hal yang aku ucapkan barusan. Kita hanya manusia. Lidah kita tak bertulang, berarti ia dapat berucap, ia juga dapat merubah ucapannya. Jari dapat mengetik dan menulis, namun ia juga dapat menghapusnya. Hati dapat memilih pasangannya, tapi ia juga yang punya kendali untuk memilih pergi.

Oleh karena itu, tetaplah seperti ini. Tetaplah jadi yang terbaik bagiku. Tetaplah jadi kita yang selalu peduli akan satu sama lain. Tetaplah menginginkanku, seperti pertama kali kamu menginginkanku. Aku tidak akan menyerah, dan aku harap kamu tidak keberatan untuk melakukan hal yang sama.

Terakhir. Sama seperti kata yang sering kamu ucap bahwa aku bukan siapa-siapa. Hanya bisa berharap.

Selamat tanggal dua puluh delapan.