Laman

Monday, December 12, 2016

Hey kamu, yang sedang berjuang menahan diri


Apa kabar dirimu? Jika bisa, rasanya ingin kutawarkan tempat duduk di sisiku khusus untukmu. Ingin kupandang wajahmu lekat-lekat lalu bertanya,

“Beratkah hari-harimu belakangan ini? Cukup menyenangkan kah pekerjaan yang sedang kau jalani? Atau kau masih berkutat dengan teori dan buku yang membuatmu terjaga sampai dini hari?”

Harapanku, semoga kamu dan kehidupanmu di sana berjalan mulus tanpa gangguan yang berarti. Doaku tak putus-putus untukmu, kukirim dari sini. Seandainyasekarang kita sudah bisa berjumpa, ingin kuceritakan semua rasa yang sudah sekian lama mengendap di udara. Melihat kuatnya hasratku bercerita, tampaknya kelak pertemuan kita akan lebih mirip reuni dua sahabat lama dibanding pertemuan dua orang yang sedang dimabuk cinta.

Sampai hari itu tiba, kumohon tabahkan dirimu. Semesta sedang berjingkat mengurus pertemuan kita di satu masa paling sempurna. Yakinlah ia akan segera ada di hadapan mata. Padamu, yang kuyakini telah ditakdirkan namun tetap perlu diperjuangkan.

Kita adalah dua manusia yang sebenarnya berjuang di arena pertarungan serupa, hanya saja dari dua tempat berbeda. Kau berjuang menjaga apa yang harus dijaga, aku di sini mencoba sekuat tenaga membentengi hati sampai kau tiba.

Beragam godaan itu tetap ada. Mulai dari ajakan nonton, makan bersama, sampai tawaran diantar pulang ketika waktu sudah kian malam. Sebagai manusia biasa, kadang aku tergoda. Iri rasanya melihat rekan-rekan sejawat tampak punya pasangan yang selalu disampingnya. Sedangkan aku, harus sabar menghadapi dunia seorang diri sembari menunggumu datang.

Saat pertemuan itu terjadi, kita akan saling menatap dengan penuh isyarat. Mata kita bertaut merayakan kemenangan. Kita dua orang yang sama-sama keras kepala berjuang demi akhir yang sebenarnya belum bisa diperkirakan. Kita, sepasang cinta yang dipertemukan tanpa proses pendekatan. Kau dan aku, sepasang manusia yang lekat tanpa pernah harus berpelukan.

Tak perlu khawatir, Sayang. Apapun dirimu, tangan ini akan tetap terbuka. Dulu, aku pun pernah jadi versi terjelek dari seorang manusia. Bagiku, cukuplah kamu yang muncul di depan pintu sembari berkata,

“Aku sudah selesai dengan diriku. Sekarang aku ingin menjalani hidup bersamamu.”, kata-kata sederhana macam ini sudah bisa melelehkan hatiku.