Laman

Sunday, June 3, 2012

Kita (hampir) bersama (Mr. F)


Maaf.

Ingatan ini kembali padamu lagi.

Sudah kuupayakan dengan sekuat tenaga agar ingatan ini tak terpaku padamu, hanya kepadamu.

Namun aku tak kunjung bisa.

Aku kalah dengan keadaan.
 
Maaf, aku akui aku (masih) sayang kamu.

Kenangan yang kita cipta terlalu indah untuk kubiarkan begitu saja berlalu.

Bukannya aku stuck yang mengatasnamakanmu, tapi ini juga bukan pilihanku.

Aku diminta keadaan dan masa lalu kita untuk selalu membayang-bayangiku dengan mereka namun aku tak kuasa menolak.

Kepergianmu begitu pedih. Mengoyak jiwa ini hingga penuh luka, meronta-ronta meminta perlindungan. Rindu berlalu saja tanpa sanggup (kita) hentikan.

Saat angan dan penantian semakin dekat, kau justru menjauhkannya.

Aku lelah. 

Lelah saat harus berpura-pura tersenyum melihat kau bahagia tapi bukan dengan aku.

Lelah saat harus menunggu-nunggu balasan rindumu yang mustahil adanya.

Lelah saat harus menerima kenyataan bahwa kau tak (lagi) menganggapku ada.

Lelah saat harus menerka-nerka kau masih memiirkanku tapi nyatanya tidak.

Ingin sekali rasanya ku bisikkan lirih padamu, bahwa aku berdusta. Berdusta karena sanggup melupakan begitu saja tentang kamu, tentang kita. Kita yang dulu (hampir) ada.

Aku egois, ya? Telah diam-diam memenjarakan rinduku dan tak sempat ku keluarkan untuk menemuimu. Aku hanya tak ingin kau merasa terbebani dengan hadirnya rinduku, tapi paling tidak, mengetahuinya saja aku bisa merasakan bahagia, meskipun pada akhirnya tak berbalas.

Ketika kau pertanyakan tentang alasanku bertahan, ya satu kata. Aku (hampir) dan (masih) sayang kamu. Bukannya aku takut untuk memulai dengan orang lain, tapi kepergianmu masih menimbulkan anda Tanya besar di benakku dan hingga saat ini aku tak bisa memecahkannya. Mungkin aku sudah tau, namun aku ingin mendengar semua penuturan itu dari mulut kamu sendiri. Aku bisa saja membuat cerita dengan orang lain, namun ingatan ini masih jelas terbayang tentangmu. Sukar kulepaskan dari benak ingatan. Lem yang kau rekatkan sangat kuat, bahkan aku sendiri pun tak sanggup melepaskannya, apalagi membersihkannya.

Dengan lincah jemariku menuliskan ingatan demi ingatan tentangmu yang tak kunjung ada habisnya dalam layar yang ada di hadapanku, agar bisa kubaca ketika kita bersama kelak dan memperlihatkannya kepadamu dan kita pun tertawa bersama. 

Sesederhana itu.