Maaf.
Ingatan ini kembali padamu lagi.
Sudah kuupayakan dengan sekuat tenaga agar
ingatan ini tak terpaku padamu, hanya kepadamu.
Namun aku tak kunjung bisa.
Aku kalah dengan keadaan.
Maaf, aku akui aku (masih) sayang kamu.
Kenangan yang kita cipta terlalu indah untuk
kubiarkan begitu saja berlalu.
Bukannya aku stuck yang
mengatasnamakanmu, tapi ini juga bukan pilihanku.
Aku diminta keadaan dan masa lalu kita untuk
selalu membayang-bayangiku dengan mereka namun aku tak kuasa menolak.
Kepergianmu begitu pedih. Mengoyak jiwa ini
hingga penuh luka, meronta-ronta meminta perlindungan. Rindu berlalu saja tanpa
sanggup (kita) hentikan.
Saat angan dan penantian semakin dekat, kau
justru menjauhkannya.
Aku lelah.
Lelah saat harus berpura-pura tersenyum melihat
kau bahagia tapi bukan dengan aku.
Lelah saat harus menunggu-nunggu balasan rindumu
yang mustahil adanya.
Lelah saat harus menerima kenyataan bahwa kau tak
(lagi) menganggapku ada.
Lelah saat harus menerka-nerka kau masih
memiirkanku tapi nyatanya tidak.
Ingin sekali rasanya ku bisikkan lirih padamu,
bahwa aku berdusta. Berdusta karena sanggup melupakan begitu saja tentang kamu,
tentang kita. Kita yang dulu (hampir) ada.
Aku egois, ya? Telah diam-diam memenjarakan
rinduku dan tak sempat ku keluarkan untuk menemuimu. Aku hanya tak ingin kau
merasa terbebani dengan hadirnya rinduku, tapi paling tidak, mengetahuinya saja
aku bisa merasakan bahagia, meskipun pada akhirnya tak berbalas.
Ketika kau pertanyakan tentang alasanku bertahan,
ya satu kata. Aku (hampir) dan (masih) sayang kamu. Bukannya aku takut untuk
memulai dengan orang lain, tapi kepergianmu masih menimbulkan anda Tanya besar
di benakku dan hingga saat ini aku tak bisa memecahkannya. Mungkin aku sudah
tau, namun aku ingin mendengar semua penuturan itu dari mulut kamu sendiri. Aku
bisa saja membuat cerita dengan orang lain, namun ingatan ini masih jelas terbayang
tentangmu. Sukar kulepaskan dari benak ingatan. Lem yang kau rekatkan sangat
kuat, bahkan aku sendiri pun tak sanggup melepaskannya, apalagi
membersihkannya.
Dengan lincah jemariku menuliskan ingatan demi
ingatan tentangmu yang tak kunjung ada habisnya dalam layar yang ada di
hadapanku, agar bisa kubaca ketika kita bersama kelak dan memperlihatkannya
kepadamu dan kita pun tertawa bersama.
Sesederhana itu.